Beranda | Artikel
Jamaah Kedua yang Masih Jadi Polemik
Minggu, 18 Oktober 2009

Kita sudah mengetahui keutamaan shalat berjama’ah dibanding shalat sendirian.  Begitu pula mengenai hukum shalat jama’ah –apakah wajib atau sunnah- sudah kami paparkan. Sekarang permasalahan yang timbul adalah bagaimana bila beberapa orang ketinggalan jama’ah. Ketika mereka datang, imam telah selesai dari shalat jama’ah dan akhirnya mereka membentuk jama’ah baru lagi (jama’ah kedua). Apakah seperti ini diperbolehkan?

Permasalahan ini memang sering jadi polemik belakangan ini dan sebagian kalangan mempermasalahkannya. Semoga pembahasan berikut bisa memberikan jawaban dan pencerahan. Hanya Allah yang memberi taufik dan kemudahan.

Yang Mesti Dipahami

Perlu diketahui bahwa para ulama menggolongkan masjid menjadi dua macam.

Pertama, masjid yang tidak memiliki imam tetap seperti masjid di pasar dan tempat lalu lalangnya manusia. Maka di sini diperbolehkan berulangnya shalat jama’ah berdasarkan kesepakatan para ulama, dan hal ini tidak dinilai makruh.

Kedua, ada masjid yang memiliki imam tetap. Maka di sinilah terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama tentang berulangnya jama’ah dalam satu masjid diperbolehkan atau tidak.

Setelah meneliti lebih jauh, kita dapat katakan bahwa pengulangan jama’ah itu ada dua bentuk.[1]

[Bentuk Pertama] Pengulangan jama’ah yang bukan menjadi kebiasaan artinya tidak dilakukan sering-sering.

Bentuk pertama ini adalah bukan menjadi kebiasaan. Maka pendapat yang lebih tepat, boleh dua orang atau lebih membuat jama’ah berikutnya.

Dalil-dalil yang membolehkan hal ini:

Pertama, hadits Abu Sa’id Al Khudri. Ada seseorang yang datang sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari shalat, lalu beliau mengatakan kepada para sahabat,

أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّىَ مَعَهُ

Siapakah yang mau bersedekah untuk orang ini, yaitu melaksanakan shalat bersamanya?[2]

Kedua, perbuatan Anas bin Malik. Dari Abu ‘Utsman, beliau berkata, “Anas bin Malik pernah mendatangi masjid Bani Tsa’labah. Lalu Anas mengatakan, “Apakah kalian sudah shalat?” Kami pun mengatakan, “Iya, kami sudah shalat.” Anas pun mengatakan, “Kumandangkanlah adzan.” Adzan pun dikumandangkan, kemudian Anas melaksanakan shalat  secara berjama’ah.”[3]

Ketiga, perbuatan Ibnu Mas’ud. Dari Salamah bin Kuhail, beliau mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud pernah memasuki masjid dan shalat jama’ah telah selesai dilaksanakan. Kemudian Ibnu Mas’ud melakukan shalat secara berjama’ah bersama ‘Alqomah, Al Aswad dan Masruq.[4]

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tidak diketahui pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat Anas dan Ibnu Mas’ud ini. Jama’ah kedua tentu diperbolehkan karena shalat jama’ah tentu lebih utama dari shalat sendirian sebagaimana telah dijelaskan dahulu.”[5]

[Bentuk Kedua] Pengulangan jama’ah sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas.

Bentuk yang kedua ini berbeda dengan bentuk pertama yang telah dijelaskan. Bentuk kedua ini sudah menjadi rutinitas atau kebiasaan. Misalnya saja sekelompok jama’ah atau yang punya pemikiran semadzhab membuat shalat jama’ah sendiri di pinggiran masjid atau pada waktu lain yang sudah ditentukan, tidak bergabung dengan jama’ah imam tetap. Bentuk kedua ini sudah pasti adalah sesuatu yang terlarang karena tidak pernah ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi-generasi awal yang terbaik dari ummat ini. Semacam ini tidak diperbolehkan karena:

  1. Akan memecah belah jama’ah kaum muslimin.
  2. Membuat jama’ah kurang bersemangat mengikuti shalat jama’ah pertama.

Inilah yang dinilai menjadi alasan mengapa Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i memakruhkan adanya jama’ah kedua di masjid setelah imam salam, sebagaimana keduanya memiliki pendapat tegas mengenai hal ini. Wallahu a’lam.

Komisi Fatwa Saudi Arabia Berbicara

Dalam pertanyaan kedua, fatwa no. 2583 Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Soal:

Jika seseorang ketinggalan jama’ah di masjid dan melihat jama’ah pertama sudah menunaikan shalat, apakah boleh baginya melaksanakan shalat di masjid dengan jama’ah lainnya? Apakah ada pertentangan antara hadits: “Siapa yang ingin bersedekah untuk orang ini?[6], dengan perkataan Ibnu Mas’ud atau selainnya: “Jika kami ketinggalan shalat jama’ah dan shalat jama’ah pertama telah selesai ditunaikan, maka kami shalat sendiri-sendiri”?

Jawab:

من جاء إلى المسجد فوجد الجماعة قد صلوا بإمام راتب أو غير راتب فليصلها جماعة مع مثله ممن فاتتهم الجماعة، أو يتصدق عليه بالصلاة معه بعض من قد صلى

Barangsiapa yang mendatangi masjid dan mendapati shalat jama’ah telah ditunaikan dengan imam rootib (imam tetap) atau selainnya, maka dia boleh menunaikan shalat jama’ah dengan orang-orang yang ketinggalan jama’ah (yang semisal dengannya) atau meminta orang lain yang sudah shalat untuk berjama’ah dengannya sebagai bentuk sedekah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad dalam musnadnya dan Abu Daud dalam sunannya, dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada orang yang hendak shalat sendirian, “Adakah orang yang mau bersedekah untuk orang ini dengan shalat berjama’ah bersamanya. Kemudian ada seseorang yang berdiri dan menunaikan shalat dengannya.

Dan diriwayatkan pula oleh At Tirmidzi dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Ada seseorang yang memasuki masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa di antara kalian yang ingin mendapatkan pahala dari orang ini?” Kemudian ada orang yang berdiri dan shalat bersamanya.”

At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan beliau menshohihkannya. Adz Dzahabi pun menyetujui hal ini. Ibnu Hazm juga menyebutkan hadits ini dalam Al Muhalla dan beliau memberi isyarat tentang keshahihan hadits tersebut.

Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat beberapa sahabat dan tabi’in. Mereka mengatakan bahwa Tidak mengapa apabila beberapa orang melaksanakan shalat lagi secara berjama’ah di masjid setelah sebelumnya ada yang menunaikan shalat secara berjama’ah. Inilah pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hendaklah orang-orang yang ketinggalan jama’ah tadi melaksanakan shalat sendiri-sendiri. Pendapat kedua ini dianut oleh Sufyan Ats Tsauri, Ibnu Mubarok, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i. Para ulama tersebut menyarankan agar shalat sendiri-sendiri bagi yang ketinggalan shalat jama’ah.

Perlu diketahui bahwa sebagian ulama dan yang sepaham dengan mereka memakruhkan adanya jama’ah kedua, di antara alasannya adalah karena ditakutkan adanya perpecahan di tubuh kaum muslimin, muncul kebencian, dan orang-orang yang berniat jelek punya keinginan untuk menunda-menunda shalat jama’ah. Atau pun hal ini bisa menyebabkan jama’ah-jama’ah tertentu melaksanakan shalat sendiri dengan yang sepaham dengan mereka atau sejalan dengan pemahaman bid’ah mereka. Karena alasan inilah –yaitu takut adanya perpecahan dan maksud-maksud jelek lainnya-, para ulama yang lain memakruhkan adanya jama’ah kedua setelah jama’ah pertama selesai dari shalatnya di masjid bersama dengan imam rotib (imam tetap) atau imam mana saja.

Dari dua pendapat di atas, pendapat pertama (yang membolehkan adanya jama’ah kedua) lebih tepat dengan alasan hadits yang telah dikemukakan. Kita pun diperintahkan bertakwa semampu kita. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian diperintahkan dalam suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.

Tidak diragukan lagi bahwa shalat jama’ah adalah di antara bentuk ketakwaan kepada Allah dan sesuatu yang diperintahkan oleh syari’at. Maka sudah selayaknya setiap muslim bersemangat untuk menunaikannya semampunya.

Sungguh tidak tepat, jika seseorang mempertentangkan dalil yang shahih dengan perkataan sebagian ulama yang memakruhkan adanya jama’ah kedua. Sudah seharusnya seseorang beramal dengan dalil yang shahih dalam masalah ini.

Jika diketahui ada seseorang atau beberapa orang meremehkan shalat jama’ah dan seringkali membuat jama’ah lagi setelah jama’ah pertama; atau dilihat dari gerak-gerik, mereka biasa menunda shalat jama’ah dan hanya ingin melaksanakan dengan pembela hawa nafsu (baca: ahli bid’ah) yang setipe dengan mereka, -jika memang alasannya seperti ini-, maka membuat jama’ah kedua menjadi terlarang untuk menutup jalan terjadinya perpecahan sebagaimana keinginan ahli bid’ah. Jika kasus seperti ini dilarang, bukan berarti kita harus meninggalkan dalil-dalil yang membolehkan jama’ah kedua bagi orang yang luput dari jama’ah pertama.

Hanya Allah yang senantiasa memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Fatwa ini ditandatangani oleh:

Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghadyan, Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi, Ketua: ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[7]

Semoga dengan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah di atas bisa menjadi jawaban bagi orang-orang yang mempermasalahkan jama’ah kedua.

Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmatnya setiap kebaikan menjadi sempurna.

***

Pangukan, Sleman, 17 Syawwal 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

 


[1] Lihat pembahasan di Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/561-562, Maktabah At Taufiqiyyah.

[2] HR. Abu Daud no. 574. Syaikh Al Albani dalam Misyakatul Mashobih 1146 [11] mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (1/331), ‘Abdur Rozaq (3417), Ibnul Mundzir (4/215), sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/562

[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/323), Ibnul Mundzir (4/216), dan memiliki penguat dari ‘Abdur Rozaq (2884). Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/562

[5] Shahih Fiqih Sunnah, 1/562

[6] Haditsnya sudah disebutkan sebelumnya.

[7] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah, 9/336-338, Asy Syamilah


Artikel asli: https://rumaysho.com/592-jamaah-kedua-yang-masih-jadi-polemik.html